Oleh
Y. Setiyo Hadi
Boemi Poeger Persada
Upaya merekonstruksi atau menuliskan berbagai peristiwa pada
masa lalu, dengan kalimat singkat “menulis kembali sejarah”, sangat mulia
dilakukan. Mulia karena sejarah memiliki peran dalam menentukan kondisi kini
dan masa depan.
Upaya membalikkan bahwa dulu kalah, sekarang ditulis menang,
dulu suatu wilayah tidak ada atau kecil, pada masa kini diupayakan ditulis
dulunya besar atau setidaknya upaya mengklarifikasi kekalahan-kekalahan di masa
lalu. Di sinilah letak menodai kemulian dari upaya “menulis kembali sejarah”
dan terjebak pada kesalahan dalam klaim sejarah.
Sah-sah saja setiap orang mengajukan klaim atas sejarah.
Klaim sendiri merupakan tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang
berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu, atau suatu pernyataan tentang
suatu fakta atau kebenaran sesuatu.
Klaim atas suatu peristiwa sejarah untuk menguatkan jati diri
kelompok memang dibenarkan, namun harus memenuhi kaidah-kaidah sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam klaim tersebut sehingga berdampak pada pengaburan
terhadap fakta sejarah yang terjadi.
Salah satu kesalahan dalam melakukan klaim sejarah, yang sering
dan umum terjadi, adalah kesalahan bukti yang spekulatif. Klaim sejarah harus
dibuktikan secara empiris, karena sejarah merupakan suatu yang empiric,
sehingga tidak boleh ada bukti yang di luar jangkauan kajian sejarah.
Bila tidak ditemukan bukti sejarah atau tidak ada bukti
sejarah, klaim sejarah harus berani mengakui bahwa itu berada di luar jangkauan
dari klaim sejarah. Apa yang tidak dapat diverifikasi dari kajian sejarah,
tidak ada klaim sejarah.
Demikian lika-liku dari keberadaan dari suatu klaim sejarah
yang tidak luput dari beberapa keliruan yang muncul dari proses klaim sejarah
tersebut.
Boemi Poeger, 2 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar